“Halo! Halo! Nyebelin banget sih..”
Sangat lucu melihatnya berwajah kesal seperti itu. Sepertinya dia sedang mencoba menghubungi seseorang melalui handphone-nya, namun tidak ada jawaban. Namanya Rachel, anak kelas XI Mipa-1 yang letaknya tidak jauh dari kelasku. Sudah sejak lama aku memperhatikannya seperti ini. Awalnya hanya karena penasaran, tapi lama-lama, rasa penasaranku itu berkembang menjadi rasa suka.
Hari Jum’at setahun yang lalu, adalah pertama kali aku mengenal Rachel. Dia orang yang berhasil mengalahkanku dalam seleksi Olimpiade Sains Tingkat Kota bidang Fisika. Aku seringkali memamerkan kemampuanku dalam Pelajaran Fisika. Tapi, hari itu, aku malah dikalahkan oleh seorang perempuan bernama Rachel. Sejak hari itu, aku mulai penasaran dengan Rachel.
Setelah seleksi, aku dan Rachel sering terlihat bersama karena berbagai lomba yang kami ikuti. Tapi ternyata, hal tersebut tidak membuat aku menjadi dekat dengan Rachel. Selama kebersamaan kami itu, yang aku ketahui, Rachel orangnya sangat pendiam. Dia terlalu rajin karena dia lebih memilih untuk mengerjakan tugas dibandingkan mengobrol bersamaku dan teman-teman yang lainnya.
Terus begitu.. Rachel terlalu jauh sampai-sampai sulit bagiku untuk mengenalinya.
Rachel itu orangnya biasa saja. Tidak ada yang istimewa darinya kecuali, kemampuannya dalam mengerjakan soal-soal fisika. Dia itu tidak terlalu cantik, hanya saja, dia sangat ramah untuk menyapa setiap orang yang ditemuinya. Tapi entah kenapa, Rachel selalu berjalan sendirian kapanpun dan dimanapun. Sesosok gadis yang sederhana, dan juga misterius.
Saat kenaikan kelas, aku sekelas dengan temanku yang berasal dari Tim Fisika juga, namanya Fajar. Karena sudah kenal sebelumnya, aku memutuskan untuk duduk bersama Fajar saja. Beberapa minggu duduk bersama Fajar, aku baru mengetahui satu fakta bahwa ternyata, Rachel dan Fajar cukup dekat.
Fajar seringkali tiba-tiba menghilang ketika jam istirahat dan ternyata, dia pergi menemui Rachel. Tak jarang aku melihat Rachel dan Fajar pulang bersama, mereka juga terlihat sangat akrab. Sebenarnya, ke mana saja aku selama ini yang baru menyadari kedekatan Fajar dan Rachel? Padahal aku fikir, mataku selalu mengawasi Rachel.
Suatu hari, aku dan Fajar sedang piket pulang sekolah. Aku melihat, sepertinya Rachel sedang menunggu Fajar di luar kelas.
“Jar, pacarnya udah nungguin tuh,” sindirku pada Fajar.
Fajar tampak menaikkan sebelah alisnya, “Pacar yang mana?” tanyanya.
Aku mendengus, “Rachel-lah, yang mana lagi?”
Fajar tertawa kecil membalas ucapanku, “Rachel itu bukan pacar gue, dia mantan gue.”
Ini serius kan? Fajar, mantan Rachel? Aku sungguh tidak percaya. Bagaimana mungkin, Fajar dan Rachel itu dulu pernah punya hubungan, tapi mereka tetap hidup rukun sampai sekarang? Apa mungkin, kalau mereka masih mempunyai perasaan yang sama?
“Udah selesai, nih. Gue sama mantan gue duluan ya, bye Fahri!” serunya lalu berlalu dari hadapanku.
Sementara itu, aku berdiri di sini, sambil menggenggam sebuah sapu, masih terpaku pada apa yang tadi diucapkan Fajar.
***
Hari ini hari Kamis, hari di mana aku mengikuti ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja. Wajar bukan, kalau aku pulang sore? Pulangnya, tanpa sengaja aku melewati kelas XI Mipa 1. Aku melihat sosok perempuan, sedang duduk di pojok belakang kelas. Dia tampak sendirian. Aku sangat mengenali wajah itu. Perempuan itu adalah Rachel.
Hari ini Fajar izin tidak masuk sekolah, pantas saja Rachel terlihat sendirian. Aku sebenarnya khawatir melihat Rachel yang seperti sedang menulis sesuatu di bukunya itu. Tapi, biarkan saja, mungkin Rachel memang butuh waktu untuk sendirian.
***
Jum’at pagi ketika aku sampai di sekolah, sekolahku terlihat benar-benar sangat ramai. Bahkan aku melihat ada beberapa orang polisi yang sedang mengobrol dengan Kepala Sekolah. Firasatku mulai tidak enak mengenai hal ini. Segera saja aku berlari ke kelas XI Mipa-1, yang sekarang sudah dibatasi dengan garis polisi. Jangan sampai apa yang aku fikirkan menjadi kenyataan. Aku tidak ingin terjadi hal buruk pada Rachel.
Segera saja aku menghubungi Fajar, tapi handphonenya tidak bisa dihubungi. Setelah bertanya kepada beberapa orang yang ada, tubuhku langsung lemas seketika. Kemarin, Kamis sore ketika aku memutuskan untuk pulang, Rachel melakukan percobaan bunuh diri di kelasnya sendiri. Sekarang, Rachel sedang dirawat intensif di Rumah Sakit yang tidak jauh letaknya dari sekolah.
Tanpa mempedulikan apapun, aku mengendarai motor dan menuju Rumah Sakit di mana Rachel berada. Sesampainya di sana, aku segera mencari ruangan yang ditempati Rachel. Ada seorang dokter yang baru keluar dari ruangan Rachel. Setelah mengaku sebagai kerabat dekat Rachel, aku diizinkan untuk menemuinya. Ruangan Rachel begitu sepi, tidak ada yang menjenguknya.
Dokter yang merawat Rachel menjelaskan, kondisi Rachel benar-benar sangat buruk. Fisiknya sudah membaik, tapi mentalnya masih terganggu. Dia hanya bisa menangis sejak pertama kali bangun.Wajahnya juga terlihat menyesal,entah apa yang dia sesali. Dokter itu berharap bahwa aku dapat menghibur serta memperbaiki kondisi mental Rachel.
Ketika aku baru masuk beberapa langkah, suara Rachel menginterupsiku, “Pergi!” serunya yang sedang berbaring membelakangi pintu masuk.
Tapi aku tidak menyerah, aku terus melangkah maju, “ Lu gak denger ya? Gue bilang pergi!” teriaknya.
Aku berdiri di hadapannya, dia masih menangis sesenggukkan.
“Kalau lu datang ke sini Cuma buat ngejek keadaan gue, mending lu pergi aja sana!” serunya lantang, namun terdengar lirih.
Tapi kata-kata Rachel itu tak akan mempengaruhiku. Aku bahkan berjalan semakin mendekatinya. Sekarang, yang ada di hadapanku, bukanlah Rachel yang selama ini aku kenal. Dia terlihat sangat rapuh dan menyedihkan. Sebenarnya, masalah hidup apa yang dihadapi oleh Rachel?
“Di mana Fajar?” Tanya Rachel.
Di saat seperti ini, malah Fajar yang ditanyakan oleh Rachel. Fajar yang tidak ada di sini, Fajar yang sulit untuk dihubungi dari tadi.
Tiba-tiba saja,pintu ruangan Rachel terbuka dan menampilkan Fajar dengan kondisi wajah yang cemas. “Rachel,” panggilnya.
Tanpa perlu diulangi, Rachel berbalik menghadap ke Fajar. Saat itu juga aku sadar, mungkin sudah waktunya bagiku untuk mundur.
***
Bodoh? Tentu saja tidak! Aku ini sangat pintar terutama dalam mata pelajaran fisika. Setelah kejadian pengusiran secara tidak langsung tadi, aku masih diam di sini,menunggu Fajar keluar dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padaku secara detail. Karena kalau boleh jujur, sebenarnya aku masih kurang mengerti mengenai apa yang terjadi.
Tak lama kemudian, Fajar keluar dari ruangan Rachel,kemudian ia duduk di sampingku.
“Makasih ya,” ucap Fajar tiba-tiba.
Melihat wajahku yang kebingungan, Fajar tersenyum, lalu menutup matanya menggunakan tangan, dia bersandar pada kursi yang tersedia di rumah sakit.
“Dulu, Rachel punya seorang kakak perempuan,” ucap Fajar mengawali, “kakaknya itu sangat pintar dan selalu menjadi kebanggaan orangtuanya. Sementara itu, Rachel kecil dulu sangat suka menggambar. Tapi orang tua Rachel menganggap bahwa, apa yang Rachel lakukan itu sama sekali tidak bermanfaat.”
Aku hanya diam mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Fajar, mencoba untuk menjadi pendengar yang baik.
“Lalu pada suatu hari, Rachel kecil sedang bermain dengan kakaknya, mereka berlarian di luar rumah. Aku tidak tahu bagaimana detailnya, mereka mengalami kecelakan. Syaraf tangan kanan Rachel rusak, dan itu membuat Rachel tidak bisa menggambar lagi. Tapi yang lebih buruk adalah, kakak Rachel mengalami pendarahan di otaknya yang cukup parah dan tak lama kemudian, kakak Rachel meninggal.”
Aku terkejut mendengar cerita Fajar.
“Rachel sangat sedih karena kehilangan kakaknya. Saat itu usianya baru 5 tahun, dia belum mengerti apa-apa. Tapi, orangtuanya malah menyalahkan semua hal yang terjadi pada Rachel. Bahkan, mereka tidak menganggap keberadaan Rachel lagi sejak saat itu, sampai sekarang.”
“Dan, percobaan bunuh diri kemarin sore itu bukanlah percobaan pertama kali yang Rachel lakukan, Rachel sudah terlalu sering melakukannya. Tapi yang membuatku terkejut, Rachel berani melakukan percobaan bunuh diri di sekolah. Untungnya penjaga sekolah yang biasa mengecek keadaan sekolah segera menemukan Rachel dan membawanya ke rumah sakit, jadi kondisinya tidak terlalu buruk.” Fajar menghela nafas.
Setelah mendengar semua penjelasan Fajar, aku mulai mengerti semuanya. Aku cukup tahu diri untuk tidak mengusik kehidupan Rachel dan Fajar. Hanya Fajar, yang dapat mendampingi Rachel. Aku mengalah, untuk kebaikan Rachel.