Tuesday, September 29, 2020

Rachel

 

 “Halo! Halo! Nyebelin banget sih..”

Sangat lucu melihatnya berwajah kesal seperti itu. Sepertinya dia sedang mencoba menghubungi seseorang melalui handphone-nya, namun tidak ada jawaban. Namanya Rachel, anak kelas XI Mipa-1 yang letaknya tidak jauh dari kelasku. Sudah sejak lama aku memperhatikannya seperti ini. Awalnya hanya karena penasaran, tapi lama-lama, rasa penasaranku  itu berkembang menjadi rasa suka.

Hari Jum’at setahun yang lalu, adalah pertama kali aku mengenal Rachel. Dia orang yang berhasil mengalahkanku dalam seleksi Olimpiade Sains Tingkat Kota bidang Fisika. Aku seringkali memamerkan kemampuanku dalam Pelajaran Fisika. Tapi, hari itu, aku malah dikalahkan oleh seorang perempuan bernama Rachel. Sejak hari itu, aku mulai penasaran dengan Rachel.

Setelah seleksi, aku dan Rachel sering terlihat bersama karena berbagai lomba yang kami ikuti. Tapi ternyata, hal tersebut tidak membuat aku menjadi dekat dengan Rachel. Selama kebersamaan kami itu, yang aku ketahui, Rachel orangnya sangat pendiam. Dia terlalu rajin karena dia lebih memilih untuk mengerjakan tugas dibandingkan mengobrol bersamaku dan teman-teman yang lainnya.

Terus begitu.. Rachel terlalu jauh sampai-sampai sulit bagiku untuk mengenalinya.

Rachel itu orangnya biasa saja. Tidak ada yang istimewa darinya kecuali, kemampuannya dalam mengerjakan soal-soal fisika. Dia itu tidak terlalu cantik, hanya saja, dia sangat ramah untuk menyapa setiap orang yang ditemuinya. Tapi entah kenapa, Rachel selalu berjalan sendirian kapanpun dan dimanapun. Sesosok gadis yang sederhana, dan juga misterius.

Saat kenaikan kelas, aku sekelas dengan temanku yang berasal dari Tim Fisika juga, namanya Fajar. Karena sudah kenal sebelumnya, aku memutuskan untuk duduk bersama Fajar saja. Beberapa minggu duduk bersama Fajar, aku baru mengetahui satu fakta bahwa ternyata, Rachel dan Fajar cukup dekat.

Fajar seringkali tiba-tiba menghilang ketika jam  istirahat dan ternyata, dia pergi menemui Rachel. Tak jarang aku melihat Rachel dan Fajar pulang bersama, mereka juga terlihat sangat akrab. Sebenarnya, ke mana saja aku selama ini yang baru menyadari kedekatan Fajar dan Rachel? Padahal aku fikir, mataku selalu mengawasi Rachel.

Suatu hari, aku dan Fajar sedang piket pulang sekolah. Aku melihat, sepertinya Rachel sedang menunggu Fajar di luar kelas.

“Jar, pacarnya udah nungguin tuh,” sindirku pada Fajar.

Fajar tampak menaikkan sebelah alisnya, “Pacar yang mana?” tanyanya.

Aku mendengus, “Rachel-lah, yang mana lagi?”

Fajar tertawa kecil membalas ucapanku, “Rachel itu bukan pacar gue, dia mantan gue.”

Ini serius kan?  Fajar, mantan Rachel? Aku sungguh tidak percaya. Bagaimana mungkin, Fajar dan Rachel itu dulu pernah punya hubungan, tapi mereka tetap hidup rukun sampai sekarang? Apa mungkin, kalau mereka masih mempunyai perasaan yang sama?

“Udah selesai, nih. Gue sama mantan gue duluan  ya, bye Fahri!” serunya lalu berlalu dari hadapanku.

Sementara itu, aku berdiri di sini, sambil menggenggam sebuah sapu, masih terpaku pada apa yang tadi diucapkan Fajar.

***

Hari ini hari Kamis, hari di mana aku mengikuti ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja. Wajar bukan,  kalau aku pulang sore? Pulangnya, tanpa sengaja aku  melewati kelas XI Mipa 1. Aku melihat sosok perempuan, sedang duduk di pojok belakang kelas. Dia tampak sendirian. Aku sangat mengenali wajah itu. Perempuan itu adalah  Rachel.

Hari ini Fajar izin tidak masuk sekolah, pantas saja Rachel terlihat sendirian. Aku sebenarnya khawatir melihat Rachel yang seperti sedang menulis sesuatu di bukunya itu. Tapi, biarkan saja, mungkin Rachel memang butuh waktu untuk sendirian.

***

Jum’at pagi ketika aku sampai di sekolah, sekolahku terlihat benar-benar sangat ramai. Bahkan aku melihat ada beberapa orang polisi yang sedang mengobrol dengan Kepala Sekolah. Firasatku mulai tidak enak mengenai hal ini. Segera saja aku berlari ke kelas XI Mipa-1, yang sekarang sudah dibatasi dengan  garis polisi. Jangan  sampai apa yang aku fikirkan menjadi kenyataan. Aku tidak ingin terjadi hal buruk pada Rachel.

Segera saja aku menghubungi Fajar, tapi handphonenya tidak bisa dihubungi. Setelah bertanya kepada beberapa orang yang ada, tubuhku langsung lemas seketika. Kemarin, Kamis sore ketika aku memutuskan untuk pulang, Rachel melakukan percobaan bunuh diri di kelasnya sendiri. Sekarang, Rachel sedang dirawat intensif di Rumah Sakit yang tidak jauh letaknya dari sekolah.

Tanpa mempedulikan apapun, aku mengendarai motor dan menuju Rumah Sakit di mana Rachel berada. Sesampainya di sana, aku segera mencari ruangan yang ditempati Rachel. Ada seorang dokter yang baru keluar dari  ruangan Rachel. Setelah mengaku sebagai kerabat dekat Rachel, aku diizinkan untuk menemuinya. Ruangan Rachel begitu sepi, tidak ada yang menjenguknya.

Dokter yang merawat Rachel menjelaskan, kondisi Rachel benar-benar sangat buruk. Fisiknya sudah membaik, tapi mentalnya masih terganggu. Dia hanya bisa menangis sejak pertama kali bangun.Wajahnya juga terlihat menyesal,entah apa yang dia sesali. Dokter itu berharap bahwa aku dapat menghibur serta memperbaiki kondisi mental Rachel.

Ketika aku baru masuk beberapa langkah, suara Rachel menginterupsiku, “Pergi!” serunya yang sedang berbaring membelakangi pintu masuk.

Tapi aku tidak menyerah, aku terus melangkah maju, “ Lu gak denger ya? Gue bilang pergi!” teriaknya.

Aku berdiri di hadapannya, dia masih menangis sesenggukkan.

“Kalau lu datang ke sini Cuma buat ngejek keadaan gue, mending lu pergi aja sana!” serunya lantang, namun terdengar lirih.

Tapi kata-kata Rachel itu tak akan mempengaruhiku. Aku bahkan berjalan semakin mendekatinya. Sekarang, yang ada di hadapanku, bukanlah Rachel yang selama ini aku kenal. Dia terlihat sangat rapuh dan menyedihkan. Sebenarnya, masalah hidup apa yang dihadapi oleh Rachel?

“Di mana Fajar?” Tanya Rachel.

Di saat seperti ini, malah Fajar yang ditanyakan oleh Rachel. Fajar yang tidak ada di sini, Fajar yang sulit untuk dihubungi dari tadi.

Tiba-tiba saja,pintu ruangan Rachel terbuka dan menampilkan Fajar dengan kondisi wajah yang cemas. “Rachel,” panggilnya.

Tanpa perlu diulangi, Rachel berbalik menghadap ke Fajar. Saat itu juga aku sadar, mungkin sudah waktunya bagiku untuk mundur.

***

Bodoh? Tentu saja tidak! Aku ini sangat pintar terutama dalam mata pelajaran fisika. Setelah kejadian pengusiran secara tidak langsung tadi, aku masih diam di sini,menunggu Fajar keluar dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padaku secara detail. Karena kalau boleh jujur, sebenarnya aku masih kurang mengerti mengenai apa yang terjadi.

Tak lama kemudian, Fajar keluar dari ruangan Rachel,kemudian ia duduk di sampingku.

“Makasih ya,” ucap Fajar tiba-tiba.

Melihat wajahku yang kebingungan, Fajar tersenyum, lalu menutup matanya menggunakan tangan, dia bersandar pada kursi yang tersedia di rumah sakit.

“Dulu, Rachel punya seorang kakak perempuan,” ucap Fajar mengawali, “kakaknya itu sangat pintar dan selalu menjadi kebanggaan orangtuanya. Sementara itu, Rachel kecil dulu sangat suka menggambar. Tapi orang tua Rachel menganggap bahwa, apa yang Rachel lakukan itu sama sekali tidak bermanfaat.”

Aku hanya diam mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Fajar, mencoba untuk menjadi pendengar yang baik.

“Lalu pada suatu hari, Rachel kecil sedang bermain dengan kakaknya, mereka berlarian di luar rumah. Aku tidak tahu bagaimana detailnya, mereka mengalami kecelakan. Syaraf tangan kanan Rachel rusak, dan itu membuat Rachel tidak bisa menggambar lagi. Tapi yang lebih buruk adalah, kakak Rachel mengalami pendarahan di otaknya yang cukup parah dan tak lama kemudian, kakak Rachel meninggal.”

Aku terkejut mendengar cerita Fajar.

“Rachel sangat sedih karena kehilangan kakaknya. Saat itu usianya baru 5 tahun, dia belum mengerti apa-apa. Tapi, orangtuanya malah menyalahkan semua hal yang terjadi pada Rachel. Bahkan, mereka tidak menganggap keberadaan Rachel lagi sejak saat itu, sampai sekarang.”

“Dan, percobaan bunuh diri kemarin sore itu bukanlah percobaan pertama kali yang Rachel lakukan, Rachel sudah terlalu sering melakukannya. Tapi yang membuatku terkejut, Rachel berani melakukan percobaan bunuh diri di sekolah. Untungnya penjaga sekolah yang biasa mengecek keadaan sekolah segera menemukan Rachel dan membawanya ke rumah sakit, jadi kondisinya tidak terlalu buruk.” Fajar menghela nafas.

Setelah mendengar semua penjelasan Fajar, aku mulai mengerti semuanya. Aku cukup tahu diri untuk tidak mengusik kehidupan Rachel dan Fajar. Hanya Fajar, yang dapat mendampingi Rachel. Aku mengalah, untuk kebaikan Rachel.

Monday, September 28, 2020

Aku dan Rambutan

 

Apakah aku sudah bilang betapa aku membenci rambutan? Jangan tanyakan alasannya kepadaku, karena aku sendiri juga tidak tahu. Ayolah,aku yakin semua orang pasti dapat melihat dengan jelas betapa menggelikannya buah yang satu itu. Dia memiliki rambut yang terkesan sangat aneh bagiku.

Dulu waktu aku masih duduk di bangku SMP, salah seorang teman sekelasku membawa banyak sekali rambutan dan membagi-bagikannya pada teman-teman sekelas yang lain. Saat itulah, mereka semua mengetahui kelemahan terbesarku ketika aku berteriak histeris melihat buah berbulu yang berwarna merah itu (maksudku berambut).

Setelah kejadian itu, mereka sukses menjahiliku dengan melemparkan buah rambutan kepadaku. Setelah itu, aku pasti akan berlari sambil berteriak-teriak ketakutan. Selama musim rambutan berlangsung itu, hidupku pasti tidak akan pernah tenang. Karena seingatku, di manapun aku berada, rambutan-rambutan menjijikkan itu pasti mengikutiku.

Aku pernah membaca di google bahwa, orang yang takut rambutan pasti takut pada ulat. Tapi orang yang takut ulat belum tentu takut pada rambutan. Agak aneh sebenarnya, aku takut pada rambutan (karena dia menggelikan), tapi aku sama sekali tidak takut pada ulat. Bahkan, sejak kecil aku biasa bermain-main bersama ulat di kebun belakang rumah milik ibuku.

Tapi, sebesar apapun rasa benciku pada rambutan sebelumnya, tidak akan sebesar ini sampai peristiwa dua hari yang lalu itu terjadi.

Hari itu hari Minggu, ketika aku sedang mengikuti Pelatihan Kompetisi Sains Nasional bidang Matematika di sekolahku. Setelah selesai melaksanakan sholat zuhur, aku melangkah perlahan-lahan menuju kelasku. Setelah sampai, aku melihat hanya ada dua orang di dalam kelas yang sedang membuka makan siangnya, dia dan seorang adik kelas yang satu ekskul denganku.

Tiba-tiba, langkahku terhenti perlahan-lahan ketika melihat seonggok buah rambutan tergeletak tak berdaya di atas meja Andin, teman sebangkuku. Firasat buruk segera meghampiriku. Aku takut ada buah rambutan juga di kotak makan siangku nanti. Dengan keringat dingin yang membanjiri pelipisku, aku membuka kotak makan siang ku itu. Dan ketika bulu-bulu itu sedikit terlihat, aku segera menutup kembali kotak makan siangku kemudian berlari keluar kelas.

Aku panik. Sumpah demi apapun aku benar-benar panik sekarang. Bagaimana aku bisa makan kalau begini ceritanya? Perutku sudah berteriak minta diisi.Tapi rambutan di sana seolah-olah mengejekku. Dasar buah menyebalkan. Aku membencimu asal kau tahu!

Tiba-tiba, Salman, temanku yang mengikuti Pelatihan KSN bidang Kebumian lewat di depanku. Aku segera menarik tangannya, “Man!”

Dia berhenti dan menolehkan kepalanya padaku.

“Suka rambutan gak?” tanyaku dan dia mengangguk.

“Ambil buah rambutan di kotak makan siang gua dong..” ucapku.

Dia menaikkan sebelah alisnya.

“Tolong yaa..” pintaku.

Salman melangkahkan kakinya ke dalam ruanganku, membuka kotak makanku, dan mengambil buah rambutan dari dalam kotak makanku.

Setelah memastikan kondisi aman, aku baru berani masuk ke dalam.

Membuka kotak dan semuanya aman. Tapi, saat aku mau mengambil hand sanitizer dari dalam tas, aku refleks melemparkan tasku karena ternyata ADA RAMBUTAN DI DALAM TASKU yang pastinya DIMASUKKAN OLEH SALMAN!!

“Salman!!” jeritku frustasi karena kebetulan dia masih ada dalam ruangan.

Dia menghampiriku dan malah bertanya, “kenapa?”

“AMBIL RAMBUTAN DI TAS GUA!!”

Sial. Dia malah menertawakanku.

“Gak mau ah. Ambil aja sendiri,” tolaknya.

“Salman!!”

“Apa?!” dia malah balas menantangku.

Akhirnya setelah melewati perdeebatan panjang deengan Salman dia mau mengambil rambutan di tasku dan keluar ruangan.

‘selamat’ pikirku.

Tapi ternyata, semuanya belum selesai. Karena ketika aku melihat ke belakang, dia dan adik kelas yang satu ekskul denganku tampak sedang menahan tawa mereka.

“Takut rambutan, kak?” tanya adik kelasku sambil menahan tawanya.

Sial! Benar-benar sial!!

Niat awalku meminta bantuan Salman sebenarnya adalah agar aku bisa makan dngan tenang tanpa mereka ketahui kalau aku takut rambutan. Tentu saja aku tidak ingin image-ku terlihat buruk di depan dia, sang gebetan. Tapi ternyata, semua tidak berjalan sesuai ekspetasiku.

Mulai hari ini, aku bukan hanya membenci rambutan. Aku benci perpaduan Salman dan rambutan!

Rachel

    “Halo! Halo! Nyebelin banget sih..” Sangat lucu melihatnya berwajah kesal seperti itu. Sepertinya dia sedang mencoba menghubungi ses...